Surat-surat yang kehilangan tujuan #3

Wednesday, March 13, 2019


Kasih, pada tulisan yang tidak akan pernah kamu baca ini, aku ingin berbicara tentang kita yangaku rasabelum selesai.
Sejak aku kehilangan kamu beberapa tahun lalu, aku masih dilema tentang kita. Apakah benar ada kita saat itu, atau hanya ada aku yang menganggap kita itu nyata? Mungkinkah kenyataannya kita adalah ilusi dan asumsi yang aku buat sendiri?

Di keheningan malam pulau dewata ditemani alunan nada dari playlist yang itu-itu saja, terlintas sebuah kutipan sajak dari seseorang yang paling aku kagumi.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu....''—Sapardi Djoko Damono.
Terdengar seperti analogi sederhana tentang kita. Ibarat kayu dan api, aku adalah kayu dan kamu adalah api. Kamu membakarku tanpa kata, tanpa rasa dan dengan tergesa. Membuat aku menderita. Jika aku harus berakhir menjadi abu, maka bakarlah aku dengan benar, agar tidak ada sisa-sisa nostalgia yang membuatku merasa sakit tiap mengingat dirimu. Namun, kamu harus selalu ingat dengan frasa awal sajak itu, aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Kasih, tahukah bahwa kata-kata yang tak sempat diucapkan ini telah menjelma menjadi cerita-cerita yang masih ku simpan rapat? yang menunggu waktu untuk dilepaskan. Namun, aku sampaikan kepada barisan aksara itu bahwa aku tidak bisa membebaskannya, sebab si pendengar cerita sudah hilang dimakan angin.
Diantara jeda waktu keheningan kita, aku berusaha memahamimu yang telah menghilang cukup lama. Berusaha mendapatkan premis demi menemukan sebuah kesimpulan semu.


Pertemuan yang diawali dengan biasa dan diakhiri tanpa aba. Apabila dua manusia pada umumnya bertemu dengan 'hai' dan diakhiri dengan 'selamat tinggal', maka aku dan kamu adalah dua manusia yang bertemu dengan 'hai' dan diakhiri dengan kesunyian.
Kesunyian yang menuntut penjelasan.

Kasih, apakah kita benar-benar selesai?

You Might Also Like

0 Comments