Things left unsaid

Saturday, February 22, 2020


"Kenapa?"
Sebuah pertanyaan yang dibalas kesunyian.
Laki-laki yang berdiri di ujung jalan gelap ini bergeming. Tidak mengindahkan si gadis yang gemetar karena berusaha bertahan dengan sisa energi yang masih dimiliki.

Dari sekian banyak kalimat yang ingin disampaikan, gadis itu pada akhirnya memilih diam sambil menatap sendu punggung laki-laki yang kini hampir tak terlihat. Semakin lama sosok itu semakin menjauh, buram, dan hilang dari pandangan.
Dia menunduk. Meratapi jari-jari kakinya yang tidak terlindungi oleh alas kaki sama sekali. Rambutnya yang tergerai panjang menutupi sebagian wajahnya yang memerah. Dia marah. Dan kecewa. Atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak mendapat jawaban. Atas dirinya yang ditinggalkan dengan kebingungan. Atas semua janji yang ternyata hanya basa-basi.

Ia tak lagi bisa menahan tangis, yang menderas beriringan dengan rinai hujan yang turun dari langit. Dia terpaku di tempatnya berdiri, dalam diam masih berharap laki-laki itu berbalik, dan membawanya ke pelukan.

Ribuan detik yang menjadi belasan bahkan puluhan minggu pun terlewat, namun yang ditunggu tak kunjung kembali. Gadis itu menjalani hidup dengan memakan asumsinya sendiri, menebak-nebak jawaban atas pertanyaan yang tak kunjung mendapat pencerahan.

Kepalanya riuh dan padat dengan seribu pertanyaan tentang bagaimana kini si laki-laki menjalani kehidupan. Apakah dia baik-baik saja, apakah dia makan dengan baik, apakah dia tidur dengan cukup, termasuk; apakah dia pernah memikirkanku meskipun hanya sekali?

Satu waktu gadis itu marah dengan dirinya sendiri, bahkan hampir membenci. Jatuh berkali-kali dan rasa sesak yang tak kunjung hilang adalah temannya dalam menjalani hari-hari. Dia lelah dengan semuanya. Dia ingin kembali baik-baik saja. Setiap hari baginya adalah sebuah cobaan, hingga akhrinya menjadi kuat adalah satu-satunya pilihan.
Terkadang ia merutuki dirinya sendiri atas apa yang telah berlalu. Berandai-andai hubungan ini tidak pernah terjadi.
Seandainya ia tahu bahwa mencintai akan semenyakitkan ini, tentu ia tidak akan membiarkan bibit cinta tumbuh dan berkembang.
Seandainya ia tahu bahwa kisahnya akan berakhir pilu, maka tak akan diiyakan pertemuan pada sore itu.
Seandainya ia tahu bahwa alasan mereka bertemu adalah untuk dipatahkan, ia tidak akan memberikan hatinya sejak awal.
Seandainya ia tahu bahwa semua kata-kata dan afeksi yang diberikan adalah palsu, maka ia tidak akan mengamininya.
Seandainya ia tahu bahwa dirinya hanya dijadikan tempat singgah sementara, maka ia tidak akan menjadikannya tujuan.

Beberapa orang bilang ada kata-kata yang lebih baik tidak diucapkan, tapi sepertinya hal tersebut tak berlaku bagi gadis itu. Kenyataannya, kini ia masih hidup dalam bayang-bayang.

You Might Also Like

0 Comments